Tentunya zat satu ini sudah tak asing lagi di telinga kita. Keberadaannya terkenal karena fungsinya sebagai pengawet mayat. Tetapi, saat ini, namanya menjadi ‘kurang baik’. Karena ulah segelintir orang, nama baiknya menjadi sesuatu yang menakutkan.
Zat ini berumus kimia CH2O yang merupakan hasil sampingan dari pembakaran bahan oraganik. Untuk memudahkan penggunaannya, senyawa itu dilarutkan dalam air dengan kadar 30 – 40%. Larutan inilah yang sehari-hari kita kenal dengan nama formaldehida, atau yang lebih kita kenal dengan sebutan formalin atau formol.

Selama seabad, ia telah menjadi teman manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kadar kecil, keberadaan formaldehida (formalin) sebenarnya sesuatu yang wajar/normal ada di alam, seperti gas penyebab bau kentut atau telur busuk. Di udara, ia terbentuk dari pembakaran metana dan oksigen yang ada di atmosfer dengan bantuan sinar Matahari. Tak hanya itu tubuh manusia, hewan, dan tumbuhan pun memproduksi senyawa ini sebagai hasil samping metabolisme.
Sebagai gas alam, usia formalide sama tuanya dengan usia bumi. Namun, sejarahnya baru dimulai tahun 1850, ketika ahli kimia Rusia, Alexander Mikhailovich Butlerrov, secara tidak sengaja menemukan senyawa ini dalam eksperimennya.
Sembilan tahun kemudian, seorang kimiawan Jerman, August Wilhelm Hofmann berhasil menemukan metode pembuatan formaldehida dari metanol. Metode inilah yang menjadi cikal bakal proses pembuatan formaldehida untuk skala industri, meski belum diketahui manfaatnya.
Dua puluh tahun kemudian, setelah percobaan Hofmann, para dokter baru tahu bahwa formalin bisa dipakai sebagai desinfektan (pembasmi kuman). Sejak itu formaldehida mulai diproduksi secara massal untuk keperluan medis.
Popularitasnya semakin menanjak ketika para ahli anatomi mengetahui manfaat CH2O sebagai pengawet mayat. Penemuan ini sekaligus memudarkan pamor minyak tetumbuhan, garam merkuri, dan arsenik yang biasa dipakai sebagai pengawet mayat sejak zaman Firaun. Senyawa inipun akhirnya lazim digunakan untuk mengawetkan jenazah serdadu yang gugur di pertempuran. Tujuannya agar jasadnya tetap utuh ketika dibawa pulang ke tempat asalnya.
Citra formaldehida/formalin akhirnya berubah total pada tahun 1910, ketika ilmuwan Belgia, Leo. H. Baekeland, berhasil membuat plastik sintetis dengan bahan baku formaldehida dan fenol. Bahan plastik yang kuat ini kemudian ia patenkan sengan nama Bakelite. Dalam kurun waktu 3 dasawarsa, Bakelite merajai industri barang-barang berbahan plastik.
Sejk penemuan itu, para industriawan berlomba-lomba membuat plastik jenis baru berbahan dasar CH2O, Salah satunya yang terkenal adalah plastik sintetis yang terbuat dari formaldehida dan melamin, yang ditemukan sekitar tahun 1930-an. Karena sifatnya yang tahan panas dan tampilannya yang mirip porselen, bahan ini banyak dipakai untuk membuat alat-alat rumah tangga.
Penemuan demi penemuan semakin melengkapi manfaatnya untuk umat manusia. Hingga saat ini, formaldehida dipakai di hampir semua barang keperluan sehari-hari, mulai dari plastik, kaca, lem, cat, pupuk, penyamak kulit, pengawet kayu, pengawet vaksin, obat penyakit kulit, film kamera, pewarna, hingga pasta gigi.
Riwayat formaldehida mulai menjadi runyam ketika ia dipakai sebagai pengawet bahan makanan karena harganya yang murah. Di Indonesia, bahan pengawet jenazah ini sering dijumpai di dalam tahu, ikan, mi basah, dan daging.
Karena sifatnya yang toksik, semua organisasi kesehatan di dunia melarang penggunaan formaldehida dalam produk makanan. Para dokter yakin, paparan formalin dalam jangka panjang bukan hanya untuk mengawetkan mayat manusia, tetapi juga bisa mempercepat proses manusia menjadi mayat.
Sumber : Intisari, Pebruari 2006