Kelakar tentang buta warna di antara saya dan teman-teman bukanlah sesuatu yang asing lagi. Biasanya kalau sedang berkumpul bersama teman-teman, salah seorang di antara kami salah menyebutkan warna, maka akan riuh rendah lah segala olok-olok yang dihamburkan kepadanya, yang salah menyebutkan warna tersebut.
Warna yang paling sering keliru disebut adalah warna ungu yang kadang dinyatakan sebagai warna biru ataupun abu-abu. Dan, kadang-kadang, saat itu, untuk menegaskannya saya sampai mengatakan, ‘Dihhh, buta warna, ya?..Buta warna parsial, tuh!’..Padahal, sebenarnya saya ga tau buta warna parsial itu apa?..Ha..ha..Yang penting, ngeledek dulu, soal apa itu sebenarnya jadi urusan belakangan. *yang kaya gini jangan ditiru, ya..*
Masih di Intisari, edisi Januari 2006, saya menemukan penjelasan atas ledekan saya itu tentang buta warna parsialnya. Jadi, buta warna parsial itu merupakan penyakit turunan. Diperkirakan, di dunia terdapat sekitar 5 – 8% laki-laki dan 0,4% wanita menderita kelainan buta warna ini.
Di pusat retina kita terdapat banyak fotoreseptor. Foto reseptor ada yang berbentuk batang dan kerucut kecil. Yang berbentuk kerucut kecil bertanggung jawab terhadap warna hijau, biru, dan merah yang dibawa oleh gelombang cahaya ke mata.
Jika sel kerucut ini tidak bekerja dengan baik atau salah satu sel yang bertanggung jawab atas warna tertentu tidak ada, terjadilah buta warna sebagian. Karena, mata tidak bisa membedakan warna yang berdekatan secara jelas lagi.
Karena buta warna parsial merupakan penyakit keturunan, maka penyakit ini tidak dapat disembuhkan. Karena, tidak mungkin menggantikan sel kerucut pada retina. Tetapi, jika disebabkan karena hal lain, seperti mengonsumsi obat-obatan, hal ini dapat dikonsultasikan kepada dokter.
Seperti itulah penjelasan tentang buta warna parsial. Dan, sejak mengetahui penjelasannya, saya berhenti bergurau dengan ‘buta warna’ sebagai bahan olok-olok. *tutup muka pake ember*.
^_^