
Dalam tembok derita, aku menebus dosa..
Dalam tembok derita, menjadi narapidana..
Yup, itu memang sepotong lirik dari sebuah lagu. Judul lagu dan penyanyinya, tau kan?..:-D
Eh, iya, mongngomong, tembok derita yang dimaksud dalam lagu itu ternyata punya riwayat juga, lho!
Pada zaman dahulu, saat belum diberlakukan hukuman kurungan badan, orang yang akan dihukum (biasanya dihukum mati), dikerangkeng dalam sebuah kandang, lengkap dengan segala penyiksaannya.
Sistem peradilan Kerajaan Inggris adalah yang pertama menciptakan penjara, pada abad ke-12. Awalnya hanya berupa ruang-ruang khusus bagi tahanan yang akan dihadapkan ke pengadilan Kerajaan Inggris.
Melihat sisi positif bagi para tahanan, Raja Henry II kemudian memerintahkan untuk membangun ruang-ruang khusus seperti itu di seluruh Inggris. Namun, sejauh itu masih sekedar untuk mengurung para pelaku tindak kriminal, belum ada upaya untuk menyadarkan parab tahanan akan kesalahannya.
Konsep penjara sebagai lembaga permasyarakatan baru mulai ada pada abad ke-16. Ruangan ini terutama untuk menghukum mereka yang melakukan kasus-kasus kejahatan ringan di Inggris, dan beberapa negara lainnya di Eropa. Institusi yang sama didirikan pula di tanah koloni di Amerika.
Sebelum penerapan penjara sebagai lembaga permasyarakatan, semua tahanan bercampur baur. Pada saat sistem ‘penjara modern’ inilah mulai dibuat pemisahan tahanan berdasarkan usia, jenis kelamin, dan kondisi-kondisi khusus lainnya. Di dalam penjara modern ini mulai diterapkan disiplin ketat dan para tahanan diwajibkan bekerja keras. Menurut akta 1711 di Inggris, hukuman kurungan maksimum saat itu adalah 3 tahun.
Memasuki abad ke-18, sistem lembaga permasyarakatan di Amerika dan Eropa banyak dipengaruhi oleh pemikiran para kaum rasionalis. Para tahanan makin banyak dilibatkan dalam banyak aktivitas. Sekaligus untuk menilai perubahan sikap mereka. Para tahanan mulai diberi keterampilan menganyam, pekerjaan menukang, atau membuat sepatu.
Para kaum rasionalis pada saat itu meyakini bahwa dalam kesendirian dan kesusahan, para tahahan tersebut akan menyadari kesalahannya sehingga pada akhirnya mereka bertobat. Alhasil, di penjara-penjara tertentu, setiap harinya, para tahanan dipisahkan satu sama lain, baik saat bekerja maupun tidur. Di dalam suasana sunyi seperti itulah diharapkan mereka akan merenung untuk kemudian bertobat. Meski dirasa aneh, tetapi konsep seperti ini diterapkan di banyak negara di Eropa.
Pada tahun 1840, Kapten Alexander Maconochie di Kep. Norfolk, sebelah timur Australia, memperkenalkan sistem penilaian. Mirip anak sekolah, setiap harinya, para tahanan akan selalu mendapat nilai atas pekerjaannya, sikap, dan kemauan untuk belajar. Nilai akan tercantum dalam catatan seperti ‘rapor’ dan berpengaruh terhadap hukuman. Kalau nilainya bagus, hukuman dapat diperingan.
Pada masa yang sama, kepala penjara Irlandia pada waktu itu, Sir Walter Crofton, juga memberlakukan tiga tahap sebelum tahanan dikembalikan ke tengah masyarakat. Mereka harus menjalani masa isolasi terlebih dahulu sebelum akhirnya dibolehkan bersosialisasi dengan penghuni lainnya. Enam bulan menjelang pembebasan, tahanan diberi kepercayaan dan dijaga oleh penjaga yang tak bersenjata. Mereka juga bisa keluar penjara dengan ‘pembebasan bersyarat’. Sistem seperti ini dipakai hingga saat ini.
Tobat tujuh turunan, semoga takkan terulang..
Bila bebas ingin sadar, menjadi orang yang benar..