Nasi gandul namanya. Jelas tidak sekeren nama-nama kuliner import asal luar negeri yang beberapa tahun ini merambah dunia perkulineran Indonesia. Namanya terdengar sangat ndeso atau kampungan. Tidak mengundang selera bagi kebanyakan orang yang masuk kategori generasi Milenial.
Tetapi, kenyataannya makanan yang satu ini membuat si kribo cilik, yang sudah tidak kecil lagi, bercita-cita untuk menikmatinya sekali lagi saat bermain ke dua kota di Jawa Tengah. Yang satu kota besar, Semarang, ibukota propinsi, dan Rembang, sebuah kota kecil di wilayah pesisir.
Saking inginnya mencicipi kembali penganan yang satu ini, setidaknya beberapa jam harus dihabiskan berputar-putar di Semarang. Tanpa hasil karena ternyata penjualnya memang tidak ada.
Barulah setelah kemudian menyambangi Rembang, keinginan itu terpuaskan. Itupun harus menunggu seharian karena penjualnya baru muncul malam hari.
Lokasinya di Alun Alun Rembang.
Makanan Apakah Nasi Gandul Itu?
Dari namanya saja sudah jelas bahwa bahan utamanya adalah makanan utama rakyat Indonesia, nasi. Cuma memang tidak terbayangkan “gandul” itu seperti apa, iya kan?
Nah, gandul itu sebenarnya bukan nama lauknya. Kata dalam bahasa Jawa ini berarti “menggantung”. Nama ini disematkan karena biasanya penjual nasi gandul pada awalnya berkeliling menggunakan pikulan yang “tergantung” di pundak pedagangnya.
Itulah kisah resmi yang dianggap mewakili asal muasal makanan ini.
Daerah asal yang dianggap sebagai pertama kali memperkenalkan nama kuliner unik ini adalah Pati, sebuah kota kecil lain di Jawa Tengah dan berlokasi berhimpitan dengan Rembang.
Nasi Gandul sendiri pada dasarnya adalah nasi yang diberi kuah berwarna coklat. Kuah ini biasanya terbuat dari berbagai jenis rempah-rempah, kecuali Kunyit dan bersantan. Warnanya coklat.
Penyajiannya agak berbeda. Kalau nasi biasa disajikan hanya di atas piring, nasi gandul disajikan dengan menggunakan alas daun pisang di atas piring. Barulah kemudian nasi dan kuah dimasukkan ke dalamnya.
Penggunaan daun pisang dimaksudkan agar panas dari kuah tadi bisa terserap dan membuat nasi gandul tidak terlalu panas di lidah dan enak dimakan.
Tentu tidak hanya nasi berkuah saja. Nasi Gandul biasanya dinikmati bersama dengan beberapa bahan makanan berprotein, sekaligus mengandung kolesterol lumayan tinggi. Lauk yang biasa dicampurkan ke dalam nasi khas Pati ini adalah empal, baik daging atau jeroan, seperti usus, babat, limpa, hati, paru, dan lain sebagainya.
Penyajiannya bisa dicampurkan sebelum kuah dituang ke atas nasi, tetapi penjual Nasi Gandul di Alun Alun Rembang melakukannya dengan cara berbeda.
Ia hanya menyajikan Nasi Gandul saja. Kemudian pembeli bisa memilih lauknya dari piring-piring lauk yang ada di atas meja. Untuk memudahkan memotong, sang penjual meneydiakan gunting (bukan pisau) untuk memotong daging atau jeroan tadi.
Kalau memang sudah, di meja juga tersedia beberapa bungkus kerupuk kulit sebagai campuran tambahan.
Rasanya?
Enak. Tidak heran si kribo cilik, yang juga penggemar makanan modern, sampai seperti orang mengidam ingin merasakan lagi Nasi Gandul ini. Mirip seperti makan semur dengan kuah yang banyak.
Gurih dan manis bercampur satu.
Daging dan jeroannya pun tidak alot dan mudah digigit dan dikunyah.
Cara membayarnya sama seperti warteg. Pembeli hanya perlu menyebutkan nasi yang dipesan dan berapa lauk yang dimakan. Kejujuran memegang peran disini karena sebenarnya pedagangnya tidak memperhatikan dengan teliti lauk yang dimakan pembeli.
Sepiring nasi gandul dihargai 6000 rupiah saja dan untuk setiap lauknya 5000 rupiah. Sebuah harga yang murah untuk makanan yang unik dan lezat ini.
Sensasinya bertambah karena ciri khas makan di Alun-Alun Rembang adalah lesehan, alias tanpa kursi. Pengunjung duduk beralaskan tikar di sepanjang pelataran.
Suasananya menjadi sangat akrab dan terasa menyenangkan. Tidak kalah dengan lesehan di Yogyakarta. Apalagi kalau saat makan kuliner ini dilakukan bersama dengan keluarga. Mantap.
Dan, suatu waktu nanti, jika ada kesempatan berkunjung ke Rembang lagi, Nasi Gandul rasanya akan menjadi salah satu target utama lagi. Rasanya dan sensasinya sulit untuk dilupakan dan akan selalu membuat kangen.
Memang, ada juga penjual nasi gandul di Jakarta, tetapi entahlah, rasanya berbeda kalau dilakukan di Rembang.