Ngenes juga sebenarnya membacanya. Tetapi, sebuah artikel di media online ternama Indonesia DETIK memang berdasarkan fakta yang banyak terjadi di lapangan. Sulit untuk dibantah bahwa memang mayoritas orang Indonesia punya SIM (Surat Ijin Mengemudi), tetapi sepertinya mereka tidak tahu aturan lalu lintas.
Artikel yang ditulis berdasarkan pada pendapat seorang pakar dari UGM (Universitas Gajah Mada) itu memang berdasarkan pada realita.
Salah satu kejadian yang baru-baru ini menjadi bukti betapa para pengendara Indonesia “nggak” tahu aturan lalu lintas adalah ketika seorang ibu-ibu pengemudia ojeg online memukul seorang pejalan kaki karena dirinya ditegur saat mengendarai motornya melalui trotoar.
Disitu terlihat jelas kesalahannya, yaitu berkendara di trotoar yang merupakan wilayah pejalan kaki. Lucunya lagi sudah jelas ia yang salah, malah si pengendara marah-marah dan tidak menerima ketika ditegur.
Dan,itu hanyalah satu contoh saja karena pada kehidupan sehari-hari, lebih banyak lagi contoh “tidak tahu” aturan yang dijalankan para pengendara, salah satunya berhenti di zebra cross seperti yang mudah ditemukan di banyak tempat.
Lalu kenapa bisa terjadi demikian? Bukankah SIM seharusnya merupakan tanda bahwa pemegangnya adalah orang yang paham aturan berkendara? Mengapa?
Jawabannya ternyata :
1. Dapat SIM Lewat “Pintu Belakang ” alias SIM Nembak
Bukan hal baru dan rahasia bahwa untuk mendapatkan SIM terutama jenis A dan C bisa dilakukan bahkan tanpa harus datang menjalani ujian. Memang secara resmi pihak Kepolisian RI mengatakan bahwa semua pemegang SIM harus lewat ujian tertulis dan praktek.
Pada kenyataannya, dengan melewati jalur “khusus” yang artinya membayar “orang tertentu”, seorang yang hendak mendapatkan SIM bahkan tidak perlu mengantri. Cukup datang untuk dipotret dan kemudian SIM sudah didapat.
Bagaimana mau tahu aturan kalau ada pintu belakang?
2. Tidak Diajari Pengetahuan Cara Berlalu Lintas
Kursus mengemudi memang banyak di Indonesia. Sayangnya, kebanyakan hanya mengajarkan bagaimana mengendarai mobil saja. Disana tidak diajarkan mengenai tata krama berlalu lintas. Oleh karena itu banyak lulusan kursus itu yang bisa berkendara tetapi sama sekali tidak paham tentang aturan berlalu lintas.
Jangan ditanya pengendara sepeda motor karena tidak ada kursus pengendara motor dan biasanya mereka diajarkan oleh teman, keluarga, atau bahkan belajar sendiri. Tidak pernah mereka mendapatkan pengajaran tentang bagaimana berlalu lintas dengan baik dan benar. Tidak heran kalau kebanyakan pelanggar aturan lalu lintas adalah pengendara motor.
3. Malas Belajar
Pengetahuan tentang cara berlalu lintas dengan baik dan benar sudah banyak ditulis di media internet. Begitu juga dengan berbagai hukum berlalu lintas, semua sudah disediakan baik dari piha resmi seperti kepolisian sampai para blogger. Hanya butuh sedikit meluangkan waktu untuk membaca.
Sayangnya, budaya membaca memang masih rendah jadi tidak heran kalau pengetahuan berlalu lintas kebanyakan orang Indonesia sangat rendah. Mereka tidak tahu karena mereka malas membaca.
4. Penerapan Hukum Masih Kurang
Manusia terkadang butuh dorongan untuk belajar. Dan, dalam hal berlalu lintas, dorongan terbaik adalah ketika mereka merasakan sanksi atau hukuman. Efek jera sering merupakan obat terbaik agar orang mau belajar.
Sayangnya, di Indonesia, hal tersebut kurang dirasakan. Sudah dilakukan tetapi kurang rutin dan sering sifatnya spontanitas atau kadang-kadang saja. Padahal, belajar tidak bisa dilakukan secara “kadang-kadang”.
Bagaimana pemotor tidak naik trotor kalau petugasnya terkadang tidak ada dan kalaupun ada hanya mengamati dan menegur saja tanpa memberian hukuman? Tidak akan ada efek yang “memberitahukan” kepada pelanggar bahwa mereka akan merasakan “sakitnya” hukuman kalau melanggar aturan.
Penerapan hukum harus semakin ditegakkan dan bukan dengan jalan musyawarah. Hal seperti ini adalah proses pembelajaran dan cara memberitahukan aturan kepada banyak orang tentang bagaimana berlalu lintas dengan baik dan benar.
Jadi, itulah alasan mengapa banyak orang Indonesia punya SIM tetapi jalanan seperti penuh dengan orang yang tidak tahu aturan.
Selama hal-hal ini masih berlangsung, tidak akan mengherankan kalau jalanan Indonesia masih akan seperti rimba dimana tidak ada hukum.