Penumpang Commuter Line Selalu Dikalahkan Oleh Penumpang Kereta Komersial

Penumpang Commuter Line Selalu Dikalahkan Oleh Penumpang Kereta Komersial

Bukan karena iri hati, tetapi rasa itu tidak bisa terhindarkan kalau melihat kondisi dan fakta di lapangan. Kasus horor di Stasiun Duri yang viral beberapa hari ini hanya menunjukkan satu fakta lagi bahwa kebijakan perkereta-apian di Jabodetabek dan Indonesia lebih berat kepada penumpang kereta komersial dan sama sekali tidak sejajar.

Horor di Stasiun Duri disebabkan karena pengurangan 10 jadwal keberangkatan Commuter Line dari stasiun itu karena beroperasinya Kereta Bandara dari staisun Sudirman Baru ke Bandara Soetta. Hal itu terjadi karena kereta bandara menggunakan jalur kereta yang sama dengan Commuter Line di jalur itu.

Memang para pemikir perkeretaapian di perusahaan itu mengatakan bahwa walau sudah dikurangi, setiap rangkaian Commuter Line yang tersisa sudah ditambah jumlah gerbongnya, jadi kapasitasnya tetap sama. Pemikiran yang hanya berdasarkan hitung-hitungan matematis saja, tetapi sepertinya dibuat oleh mereka yang tidak pernah memakai jasa kereta komuter Jabodetabek itu setiap hari.

Kenyataannya hal itu menyebabkan waktu tunggu yang lebih lama dan hasilnya menyebabkan penumpang lebih lama menunggu dan terjadi penumpukan. Dan, sayangnya, kapasitas Stasiun tidak bisa serta merta dilebarkan. Hal itulah yang mendorong terjadinya horor di stasiun Duri.

Jadi, sudah pasti terjadi karena Commuter Line sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat di Jabodetabek untuk berangkat dan pulang. Kepopulerannya lah yang membuat banyak orang beralih dari kendaraan pribadi dan menggunakannya.

Dari sisi lain, kebijakan para petinggi di PT KAI itu sendiri mencerminkan betapa mereka masih setengah hati dalam mengurus kereta rakyat. Mereka tetap memberikan keistimewaan kepada kereta komersial.

Maklum saja, seorang penumpang Commuter Line hanya membayar 5000-700 rupiah sekali jalan, sedangkan kereta Bandara mencapai 75 ribu per orang. Jadi, tentunya secara bisnis, maka kereta bandara akan memberikan keuntungan lebih banyak.

Hal itu sebenarnya juga terjadi di berbagai jalur lainnya, terutama yang bersinggungan dengan kereta-kereta komersial, baik kereta penumpang atau kereta pengangkut barang. Di jalur Bekasi-Kota, sudah biasa kalau Commuter Line harus menunggu kedatangan kereta “Jawa” (kereta penumpang jarak jauh) untuk disusul.

Di stasiun Manggarai juga sudah setiap hari Commuter Line harus menunggu, kadang lumayan lama, hanya agar kereta dari luar kota bisa jalan duluan.

Di Stasiun Gambir, sudah makanan sehari-hari mendengar pengumuman bahwa Commuter Line tertahan di pintu masuk stasiun itu dan biasanya akan diikuti dengan melintasnya kereta komersial jarak jauh seperti Argo Bromo atauArgo Parahyangan.

Jangan tanya juga di jalur Bogor kota dimana Commuter Line kerap harus menunggu kereta pengangkut air minum mineral lewat.

Waktunya bervariasi, bisa 10 menit, bisa juga 15-20 menit.

Hal itu hanya menunjukkan bahwa prioritas pemakaian jalur kereta tetap diberikan kepada kereta komersial. Commuter Line masih merupakan anak tiri saja.

Jadi, kasus stasiun Duri horor sebenarnya bukanlah hal yang aneh. Hal ini hanya mencirikan bahwa masih butuh lama bagi perkereta apian di Indonesia untuk bisa mendapatkan kereta komuter yang layak dan nyaman. Lha ya wong para pemikir di perusahaan itu lebih fokus pada mendapatkan profit?

Memang wajar sebagai sebuah perusahaan terbatas, maka para petingginya memang dibebankan target profit. Itu sebuah keniscayaan dari bentuk perusahaan yang dipakainya.

Hanya pertanyaannya, apakah harus mengorbankan begitu banyak orang hanya demi mereka yang bisa membayar mahal.

Kalau memang itu yang ada di kepala para petinggi perkereta apian Indonesia, yah memang nasib rakyat Indonesia. Mereka memang harus menjadi kaya dulu kalau mau diperhatikan dan mendapatkan sesuatu yang layak.

Jadi, jangan harap para penumpang di Stasiun Duri akan tidak terus bertaruh nyawa dan berdesak-desakan menunggu datangnya Commuter Line yang akan membawa mereka pulang ke rumah . Hal itu sepertinya tidak masuk pemikiran para pejabat di dunia perkeretaapian Indonesia.

Lha ya cuma bayar goceng saja kok minta macam-macam. Mungkin begitu yang ada di kepala mereka.

Memang nasib (termasuk saya).

+ posts