Apakah rumah Anda memiliki pekarangan? Mudah-mudahan punya ya kawan. Kalau boleh saya sarankan, janganlah disemen. Biarkanlah tetap menjadi sebuah pekarangan rumah dengan tanah dan tanaman saja.
Maaf. Bukan karena ingin ikut campur tentang bagaimana menata rumah. Anda pasti lebih tahu tentang itu. Lagipula, rumah tersebut adalah milik Anda dan tidak seorang pun bisa merecoki apa pun yang hendak dilakukan terhadapnya.
Apa yang disampaikan ini hanyalah sekedar himbauan saja. Sebuah kekhawatiran melihat kondisi lingkungan di berbagai tempat di Indonesia belakangan ini.
Mungkin Anda akan bertanya mengapa saya khawatir terhadap cara memanfaatkan pekarangan rumah orang lain?
Begini.
Efek Keberadaan Sebuah Pekarangan Rumah Terhadap Lingkungan
Rasanya bukan hal yang asing. Siapapun pasti pernah mendengar berita tentang banyaknya kawasan terlanda banjir di Indonesia. Paling sering dan paling umum didengar adalah berita tentang banjir melanda ibukota Indonesia, Jakarta.
Mayoritas anggota masyarakat akan segera menuding bahwa pemerintah tidak becus menanganinya. Sebagian lagi menyalahkan kebiasaan membuang sampah sembarangan. Ada juga yang menyalahkan pemukiman di pinggir kali sebagai penyebabnya.
Sayangnya, tidak ada yang berani mengatakan bahwa kita sendiri sangat mungkin ikut berperan sebagai penyebabnya.
Lho?
Iya. Perhatikan saja pekarangan rumah Anda. Apakah masih berbentuk tanah, taman kecil ataukah sudah tertutup dengan semen semua?
Pertanyaan ini penting lho! Mengapa?
Karena, kalau Anda perhatikan ada perbedaan yang terabaikan dari keduanya. Perbedaan yang menunjukkan apakah kita ikut urun sebagai penyebab banjir tersebut atau bukan.
Ketika hujan turun, sebuah taman yang masih berbentuk asli, berupa tanah dan tanaman akan menyerap cukup banyak air hujan yang turun. Air hujan terserap ke dalam tanah dan ditampung di dalam tanah. Air-air inilah yang kemudian disimpan sebagai cadangan air di masa yang akan datang.
Bandingkan dengan apabila pekarangan rumah sudah tertutup semen semua. Tidak ada air sama sekali yang diserap. Seluruhnya akan langsung mengalir keluar dan menuju ke tempat yang lebih rendah.
Memang volume air hujan yang tertampung oleh sebuah taman kecil di depan rumah tidaklah seberapa besar. Tergantung pada ukuran lahan yang tersedia. Semakin besar lahan maka semakin banyak air yang bisa diserap. Semakin kecil lahan semakn kecil volume air yang tertampung.
Hanya, kalau volume air yang tidak banyak itu dikalikan dengan jutaan rumah lainnya, maka angka tersebut akan menjadi sangat besar. Asumsikan saja sebuah pekarangan rumah seharusnya bisa menyerap air hujan sebanyak 1 Meter kubik di saat hujan. Bila kemudian ada 1 juta rumah menghilangkan pekarangan rumahnya, maka akan ada 1 juta meter kubik air yang tidak tertampung.
Sebuah jumlah yang sangat besar. Ukuran air ini sama dengan kira-kira sungai dengan ukuran 10 M (lebar), 2 M (tinggi/kedalaman) dan 50 meter panjang.
Bayangkan kalau hujan terjadi terus menerus dan volume air yang tercurah semakin besar. Maka air yang akan mengalir ke tempat yang lebih rendah akan semakin besar pula.
Itulah mengapa saya menghimbau agar jangan menutup pekarangan rumah dengan semen semua. Hal tersebut sama saja dengan menghilangkan sepetak tanah resapan. Sesuatu yang secara tidak sadar memberikan sumbangsih (seberapapun kecilnya) terhadap lingkungan kita.
Mudah-mudahan Anda tidak tersinggung dengan himbauan atau saran saya. Bukan untuk ikut campur, tetapi hanya sekedar mengajak untuk ikut berpartisipasi dalam menjaga lingkungan kita sendiri. Tindakan kecil kita bisa memberikan efek baik atau buruk terhadap lingkungan.
Bagaimana dengan saya? Yah. Walaupun hanya kecil, ukuran 3 meter X 3 meter saja dan tidak begitu terawat, saya memutuskan untuk tetap membiarkan sebagai tanah terbuka. Paling tidak saya mencoba membantu mengurangi air yang mengalir ke Jakarta.