Marhaban Ya Ramadhan Marhaban Ya Inflasi
Tajuk sebuah surat kabar di Bogor, Radar Bogor edisi 6 Juni, 2016, hari pertama bulan suci Ramadhan 1437 Hijriyah.
Judul yang sangat tepat sekali menggambarkan apa yang terjadi di kehidupan orang Indonesia.
Setiap tahun, hal tersebut akan terjadi. Bulan Ramadhan atau bulan puasa selain disambut dengan keceriaan dan kegembiraan akan datangnya bulan penuh berkah, juga dibarengi dengan kenaikan harga dimana-mana.
Dari tahun ke tahun terus terjadi seperti ini. Meskipun tahun ini Pakde Jokowi, Bapak Presiden Republik Indonesia telah mencanangkan akan ada penurunan harga, tetapi di lapangan sepertinya berbeda sama sekali.
Tidak akan mengkritik atau mengomentari target pemerintah disini.
Saya hanya ingin menggambarkan betapa judul tersebut mencerminkan sebuah ironi yang dianggap biasa oleh orang Indonesia.
Bulan Ramadhan adalah 29-30 hari, tergantung yang mana yang Anda mau pakai, adalah waktu dimana orang muslim diminta untuk “belajar” mengekang diri. Untuk itu, mereka diminta menahan segala hawa nafsu dan keinginan sejak terbit matahari hingga sore hari.
Mengekang diri dan menahan hawa nafsu. Itulah inti Ramadhan.
Ternyata, apa yang terjadi terungkap ternyata sangat bertentangan dengan makna dan tujuan adanya bulan puasa. Kalimat “Marhaban Ya Ramadhan” mencerminkan hal itu.
Inflasi adalah kata yang identik dengan “Kenaian Harga”. Kenaikan harga menunjukkan sebuah hal dalam ilmu ekonomi mengenai meningkatnya permintaan atau demand. Semakin banyak permintaan otomatis harga akan terdongkrak naik.
Sebuah ironi karena pada saat manusia diminta menahan diri dari berbagai hawa nafsu, justru sifat konsumtif, nafsu berbelanja semakin tinggi. Justru di bulan puasa, sepertinya manusia Indonesia seperti terlepas dari kekangan dan menemukan alasan sahih untuk semakin banyak berbelanja.
Mungkin, karena “nafsu” berbelanja bukanlah termasuk dalam kategori “nafsu” yang dilarang. Entahlah.
Kenaikan harga barang-barang sendiri tidak bisa hanya dibebankan pada pemerintah. Masyarakat Indonesia sendiri justru menyambut datangnya bulan suci ini dengan berbelanja. Bukan hanya berbelanja barang kebutuhan tetapi bahkan berbelanja menyambut Idul Fitri alias lebaran.
Banyak sekali yang sudah melakukan persiapan menyambut Lebaran 2 minggu sebelum mereka berpuasa. Alasannya takut nanti tidak kebagian karena pasar dan pusat pertokoan akan menjadi sangat ramai di akhir bulan Ramadhan.
Lucu sebenarnya. Pertempuran menghadapi hawa nafsu saja belum dimulai tetapi pesta kemenangan sudah disiapkan. Ataukah? Memang Lebaran atau Idul Fitrinya yang lebih penting dibandingkan dengan Puasanya?
Mereka juga cenderung “mengistimewakan” nafsu makan dengan berbelanja bahan makanan yang berbeda dari sehari-hari. Bulan puasa adalah bulan istimewa, jadi menu yang dihadirkan di meja makan juga harus istimewa.
Itulah sebuah ironi. Di satu sisi, nafsu makan dan minum serta syahwat ditahan di siang hari. Nafsu berbelanja justru mendapatkan pembenaran di bulan Ramadhan.
Tidak heran, inflasi justru akan mencapai level tertinggi di bulan ini. Sudah pasti akan terus begini kalau masyarakat Indonesia tidak merubah cara menghadapi Bulan Ramadhan dan lebih berfokus pada perbaikan diri daripada memperbagus pakaian dan mengenakkan apa yang dimakan atau diminum.
Entahlah. Ironi buat saya, tetapi mungkin bukan bagi Anda. Tidak menjadi masalah karena toh kita memang dilahirkan berbeda.